Monday, August 18, 2014

اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَا تُهُ
Saudara muslimku calon penghuni sorga, kali ini kita akan membahas tentang Gerakan Perempuan Islam di Indonesia. Semoga artikel ini bermanfaat, aamiin.

Gerakan Perempuan Islam di Indonesia

Gerakan Perempuan Islam di Indonesia


Sangat sulit untuk mengatakan bahwa Indonesia mempunyai pergerakan perempuan termasuk perempuan islam yang secara konsisten menuntut hak-hak perempuan. Pergerakan di sini diartikan sebagai suatu kesadaran kolektif atau individual yang mempengaruhi suatu masyarakat secara politis yang menuntut perubahan strata masyarakat yang dianggap diskriminatif.

Peta perempuan penting di Indonesia dapat dikatakan terbagi dalam empat kategori. Kategori pertama memunculkan persoalan hak memilih, hak pendidikan yang dikemukakan pada zaman Belanda, kategori kedua memunculkan persoalan politis yang berada pada basis masa dan perkumpulan untuk memajukan baik ketrampilan maupun politik perempuan yang ditemui pada masa orde lama, kategori ketiga, pada masa orde baru, menampilkan wacana tugas-tugas domestikasi perempuan sebagaimana yang diinginkan negara dan era reformasi yang memunculkan pergerakan-pergerakan liberal yang bertemakan anti kekerasan terhadap perempuan.

Persoalan penuntutan hak memilih di Indonesia (dulu Hindia Belanda), sangat lamban jika dibandingkan dengan di India yang dijajah Inggris atau negara Filipina yang dijajah oleh Amerika. Baru pada tahun 1918 pemerintahan Belanda membentuk Dewan Rakyat (Volksraad), merupakan suatu badan perwakilan, yang anggotanya hanyalah mereka yang mempunyai status tertentu di masyarakat. Sehingga sudah pasti perempuan tidak termasuk hitungan. Di Belanda pun, perempuan Belanda yang tergabung dalam perkumpulan Vereeniging voor Vrouwenkiesrecht (VVV-Asosiasi Hak Perempuan Memilih) baru memikirkan soal hak-hak memilih bagi rekan-rekannya yang berada di Hindia Belanda pada tahun 1926.2 Agar supaya perkumpulan ini mempunyai anggota yang signifikan, perkumpulan perempuan Belanda yang menuntut hak perempuan untuk memilih ini juga berusaha mengajak perempuan-perempuan Indonesia untuk bergabung. Tetapi usaha ini tidak mendapatkan sambutan. Permasalahannya adalah perempuan- perempuan Belanda mempunyai barier dalam berkomunikasi dengan perempuan- perempuan Indonesia baik yang berpendidikan sekalipun. Bagi mereka, saudara mereka yang “coklat” itu belum bisa diajak berbicara yang politis dan masih terbelakang. Padahal tahun 1930-an banyak perempuan Indonesia ketika itu sudah mulai melakukan perkumpulan-perkumpulan, dan pada saat itu perempuan Belanda pun masih ragu-ragu akan kemampuan perempuan Indonesia, bahkan cenderung meremehkan sehingga mengalienasikan perempuan Indonesia termasuk yang berpendidikan.

Gerakan Perempuan Islam di IndonesiaPada kongres perempuan Indonesia tahun 1935, perdebatan hak untuk memilih ramai dibicarakan dan perempuan Indonesia mengiginkan wakilnya berada di dalam Dewan Rakyat. Tetapi gubernur Belanda memutuskan untuk mengutus perempuan Belanda untuk posisi tersebut. Namun pada 1938, terdapat protes terhadap peminggiran peran perempuan Indonesia, sehingga pada tahun 1941 kongres perempuan Indonesia menuntut hak memilih untuk semua perempuan termasuk juga untuk perempuan Belanda di Indonesia, keadaan ini membuat kedua kelompok menjadi kompak. Organisasi perempuan Islam pun mendukung gagasan ini juga perempuan nasionalis.

Perdebatan membolehkan perempuan untuk memilih pada saat itu terlihat mendapat banyak kendala. Beberapa kelompok yang menentang hak-hak perempuan untuk memilih adalah kelompok pria Belanda yang tergabung dalam kelompok Calvinist dan Katolik, yang menganggap tempat perempuan seharusnya di ruamah.4 Pandangan ini didukung oleh komunitas Cina dan Arab yang menegaskanbahwa perempuan tidak layak memainkan peran publik. Seorang perempuan Minangkabau, Rangkajo Chailan Datoe Toemenggoeng, terpilih mempunyai peran yang penting dalam VVV dan aktif di organisasi-organisasi perempuan. Hal ini membuat masyarakat Sumatera Barat terbelah antara mendukung Rangkajo Chailan dan tidak dengan alasan tradisi.

Pergerakan perempuan Indonesia untuk menuntut hak-hak untuk memilih tidak sekuat dengan negara-negara lain. Tidak ada perempuan yang benar-benar memperjuangkan hak ini dengan sungguh-sungguh, sehingga tidak ada tokoh yang tercatat sebagai pejuang hak memilih untuk perempuan. Namun demikian, pejuang-pejuang perempuan termasuk perempuan islam yang memperjuangkan hak pendidikan dapat ditemui sejak 1912 dengan nama perkumpulan Putri Merdeka yang mempunyai afiliasi dengan Budi Oetomo, dan yang juga mensimbolkan Kartini. Kelompok-kelompok ini didominasi oleh perempuan-perempuan priayi. Kelompok- kelompok ini memfokukan diri pada pendidikan untuk anak perempuan, kursus-kursus rumah tangga, pembuatan baju, dsb.

Pada akhir tahun 1920, Sukarno memulai kegiatan politik dan mulai dikenal sebagai pemimpin pergerakan nasionalis. Ia secara formal memasuki dunia politik pada tahun 1926 dan pada tahun 1927 membentuk PNI. Ketika kongres organisasi perempuan Indonesia pertama diselenggarakan pada bulan Desember 1928, Sukarno mulai memperkenalkan pandangannya tentang peranan perempuan dalam pergerakan

nasionalis. Sukarno berpendapat bahwa pergerakan perempuan harus tetap berada di bawah perjuangan nasionalis. Sukarno mengidentifikasi dua tipe dasar organisasi perempuan di Indonesia: “mereka yang hanya tertarik untuk memasak, merajut, kehamilan dan anak, pendidikan, dsb, dan mereka yang lebih tertarik pada hal-hal yang politis untuk emansipasi perempuan.”

Sukarno sangat kritis terhadap jenis pertama pergerakan perempuan dan menganggap jenis pergerakan perempuan yang kedua lebih maju. Namun ia juga mengigatkan, bahwa, bila perempuan Indonesia menuntut hak yang sama dengan laki- laki Indonesia, laki-laki Indonesia pun tertindas dibawah aturan kolonial. Hanya dengan Indonesia merdeka perempuan akan menemukan kebebasan. Oleh sebab itu menurutnya, sangat penting bagi perempuan untuk mengambil bagian dalam pergerakan Nasionalisme.Hal ini ditanggapi oleh seorang perempuan islam, Maria Ulfah Subadio yang menyetujui bahwa gerakan perempuan Indonesia harus lebih berkonsentrasi pada isu-isu nasionalis dan bukan feminis.

“Kita bukan memperjuangkan faham-faham feminisme, kita bukan feminis, apalagi saat sekarang dalam masa kolonial karena lebih baik melawan penjajah dari pada melawan laki-laki. Jadi, kita sekarang membutuhkan laki-laki sebagai sekutu kita.”

Sikap seperti ini sangat kentara sekali ketika pemerintahan Belanda pada tahun 1937, menawarkan solusi poligami untuk organisasi perempuan. Pemerintah Belanda mengajukan perkawinan Islam didaftarkan di bawah hukum negara, sehingga perempuan dapat mengajukan perceraian bila suaminya mempunyai istri lagi. Kelompok Islam menolak usulan tersebut tetapi perkumpulan Istri Sedar menerima. Tetapi kelompok- kelompok non-Islam lainnya juga ikut menolak atas dasar curiga terhadap Belanda karena dianggap sebagai upaya untuk memecah belahkan pergerakan nasional untuk merdeka.

“Pergerakan perempuan pada saat itu menolak penawaran tersebut karena mereka takut bahwa akan terjadi pemecahbelahan kelompok perempuan dan juga dalam kelompok perjuangan kemerdekaan. Di sini sangat jelas bahwa pergerakan perempuan Indonesia pada saat itu memihak pada pergerakan nasional.”



No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.