Mari kita pelajari tentang konsep manusia sebagai khalifah allah di muka bumi ini. Telah dikemukakan bahwa manusia terdiri dari roh dan badan, dengan demikian manusia memiliki sifat-sifat ganda yang kemudian menjadi bawaan dalam hidupnya dan sekaligus memiliki potensi menjadi persoalan yang runcing dalam kehidupannya. Sebagai konsekwensinya manusia juga mendapatkan pengetahuan yang bersifat ganda, yaitu pengetahuan mengenai dunia dan pengetahuan berkenaan dengan dunia yang lain.
Pengetahuan pertama, sebagaimana firman Allah Swt. yang dikemukakan dalam Q.S. 2:31 (surat al-Baqarah) disebut “pengetahuan nama-nama” (al-asma). Yang disebut pengetahuan tentang segala sesuatu di alam dunia (al-asyya’). Pengetahuan ini tidak merujuk pada pengetahuan tentang esensi (dzat) atau tentang hal yang paling dalam (sirr) dari segala sesuatu, misalnya tentang roh, sebab mengenai yang ini hanya sedikit manusia memperolehnya (lihat Q 17:85). Yang dimaksud dengan `ilm al-asma (pengetahuan nama-nama) adalah mengenai fenomena-fenomena atau kejadian-kejadian (`arad) yang dapat diindera dan sifat-sifat dari segala sesuatu yang berbeda. Hal ini dapat ditangkap atau diserap melalui akal budi (mahsusat dan ma`qulat) yang dengan itu lah hubungannya dapat diketahui, begitu pula ciri masing-masing yang berbeda.
Pengetahuan lain yang lebih tinggi yang dikaruniakan Allah Swt. kepada manusia ialah pengetahuan tentang Allah (ma`rifat). Ini kita ketahui dalam Q 7:172) ketika Allah Swt. berfirman, “Bukankah Aku ini Tuhanmu? Ya, aku bersaksi” (Alastu bi rabbikum? Qawl bala syahidna..). Inilah perjanjian pertama yang mengikat manusia dengan Allah Swt. Perjanjian itu diikrarkan terlebih dahulu sebelum manusia diturunkan ke dunia dalam bentuknya sebagai makhluq yang memiliki jasmani dan rohani. Dari sini kita tahu bahwa pengetahuan itu bukan ditanamkan Allah Swt. dalam badan manusia, tapi dalam roh, kalbu dan jiwanya.
Konsekwensi dari perjanjian yang mengikat itu adalah bahwa dalam hidupnya manusia akan selalu mengakui Allah Swt. sebagai sasaran penyembahannya, bukan kepada yang selain-Nya. Inilah makna Islam sebagai ad-din (agama), yaitu sebagai sesuatu yang mengikat hubungan antara manusia dengan Tuhan sebagai penciptanya, dan ikatan itu dapat berjalan terus jika manusia menunjukkan kepatuhannya (aslama) terhadap perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Dengan demikian, menurut para ulama, din dan aslama, bersifat saling melengkapi dalam diri manusia dan menjadi sifat yang hakiki dari manusia, yang disebut sebagai fitrah. Tujuan sejati manusia ialah melaksanakan ibadah atau pengabdian kepada Tuhan (Q 5:56), dan kewajiban manusia adalah ketaatan kepada-Nya, sebab itulah yang sesuai dengan fitrah manusia, yang bertentangan dengan itu tentu tidak sesuai dengan fitrah manusia.
Tetapi manusia juga mempunyai sifat bawaan, yaitu pelupa (nisyan). Karena itu manusia juga biasa disebut insan. Setelah bersaksi bahwa Tuhan hanya satu yaitu Allah Swt. dan berjanji akan mematuhi-Nya, karena terlena oleh kehidupan dunia maka manusia menjadi lupa (nasiya) untuk memenuhi kewajiban dan tujuan hakiki hidupnya. Kelupaan atau kelalaian itu menjadi penyebab ketidak-taatannya pada perintah Allah Swt. Sifat ini sangat tercela serta cenderung membuatnya tenggelam dalam ketidakadilan (zhulm) dan kebodohan (jahl). Sekalipun demikian manusia dianugerahi dengan perlengkapan rohani untuk mengingat kembali apa yang diikrarkannya pada hari perjanjian (hari Alastu) dulu. Perlengkapan itu ialah akal pikiran dan kecerdasannya yang berguna untuk membedakan yang salah dari yang benar. Tetapi semua itu terserah pada manusia untuk memilihnya, dengan konsekwensi yang harus ditanggungnya sendiri.
Firman Allah Swt. dalam al-Qur’an (2:30) menyatakan bahwa manusia telah ditunjuk menjadi khalifah-Nya di atas bumi, dan kepada manusia dibebankan amanat, sebuah tanggung jawab yang berat untuk mengatur dan memelihara kehidupan di dunia. Maksud mengatur di sini bukanlah mengatur sesuai dengan kemauannya sendiri atau demi kepentingan egonya sendiri, tetapi harus mengatur sesuai dengan kehendak Allah Swt. dan maksud-Nya (Q 33:72). Amanah tersebut menuntut pertanggung jawaban untuk bersikap dan berbuat adil terhadap alam semesta dan seisinya, sebagaimana juga bersikap adil terhadap sesama manusia. Mengatur di sini tidak hanya mencakup pengertian sosioal dan politik, atau mengendalikan alam dan kehidupan di dalamnya secara ilmiah. Tetapi yang lebih mendasar lagi, dalam konsep itu, tercakup konsep lain yang disebut tabi’ah (tabiat). Konsep ini mengandung arti “pengaturan, pengendalian, pemerintahan, dan pemeliharaan diri manusia oleh dirinya sendiri”.
Dalam rangka mengatur dan mengendalikan hidupnya itu manusia tergantung pada sifat ganda dari tabiatnya yaitu Tabiat atau bawan sifatnya yang tinggi ialah jiwa rasional (al-nafs al-nathiqah) dan yang lebih rendah adalah jiwa hewani (al-nafs al-hayawaniyah). Ketika Allah memaklumkan keesaan-Nya sebagai Tuhan, yang dituju adalah jiwa rasional manusia bukan jiwa hewaninya. Agar manusia memenuhi perjanjiannya dengan Allah dan selalu mmperteguh ikatan dengan perjanjiannya itu, manusia harus melaksanakannya dalam bentuk amal perbuatan dan ketaatan dalam menjalankan ibadah (sesuai syariah-Nya).
Kekuasaan dan pengaturan jiwa rasional atas jiwa hewani secara efektif itulah yang sebenarnya dinamakan din (agama); sedangkan yang dimaksud islam ialah kepatuhan dan ketaatan yang sadar dari jiwa hewani terhadap jiwa rasional. Periaku religius dalam Agama Islam, karena itu, berkaitan dengan kebebasan dan kesadaran jiwa rasional secara penuh untuk merealisasikan perjanjiannya dengan Allah Swt., dan kebebasan itu berarti kekuatan (quwwa) serta kemapuan (wus’) untuk berbuat adil terhadap diri sendiri, sesama manusia, serta terhadap alam di sekitarnya.
Pengetahuan pertama, sebagaimana firman Allah Swt. yang dikemukakan dalam Q.S. 2:31 (surat al-Baqarah) disebut “pengetahuan nama-nama” (al-asma). Yang disebut pengetahuan tentang segala sesuatu di alam dunia (al-asyya’). Pengetahuan ini tidak merujuk pada pengetahuan tentang esensi (dzat) atau tentang hal yang paling dalam (sirr) dari segala sesuatu, misalnya tentang roh, sebab mengenai yang ini hanya sedikit manusia memperolehnya (lihat Q 17:85). Yang dimaksud dengan `ilm al-asma (pengetahuan nama-nama) adalah mengenai fenomena-fenomena atau kejadian-kejadian (`arad) yang dapat diindera dan sifat-sifat dari segala sesuatu yang berbeda. Hal ini dapat ditangkap atau diserap melalui akal budi (mahsusat dan ma`qulat) yang dengan itu lah hubungannya dapat diketahui, begitu pula ciri masing-masing yang berbeda.
Pengetahuan lain yang lebih tinggi yang dikaruniakan Allah Swt. kepada manusia ialah pengetahuan tentang Allah (ma`rifat). Ini kita ketahui dalam Q 7:172) ketika Allah Swt. berfirman, “Bukankah Aku ini Tuhanmu? Ya, aku bersaksi” (Alastu bi rabbikum? Qawl bala syahidna..). Inilah perjanjian pertama yang mengikat manusia dengan Allah Swt. Perjanjian itu diikrarkan terlebih dahulu sebelum manusia diturunkan ke dunia dalam bentuknya sebagai makhluq yang memiliki jasmani dan rohani. Dari sini kita tahu bahwa pengetahuan itu bukan ditanamkan Allah Swt. dalam badan manusia, tapi dalam roh, kalbu dan jiwanya.
Konsekwensi dari perjanjian yang mengikat itu adalah bahwa dalam hidupnya manusia akan selalu mengakui Allah Swt. sebagai sasaran penyembahannya, bukan kepada yang selain-Nya. Inilah makna Islam sebagai ad-din (agama), yaitu sebagai sesuatu yang mengikat hubungan antara manusia dengan Tuhan sebagai penciptanya, dan ikatan itu dapat berjalan terus jika manusia menunjukkan kepatuhannya (aslama) terhadap perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Dengan demikian, menurut para ulama, din dan aslama, bersifat saling melengkapi dalam diri manusia dan menjadi sifat yang hakiki dari manusia, yang disebut sebagai fitrah. Tujuan sejati manusia ialah melaksanakan ibadah atau pengabdian kepada Tuhan (Q 5:56), dan kewajiban manusia adalah ketaatan kepada-Nya, sebab itulah yang sesuai dengan fitrah manusia, yang bertentangan dengan itu tentu tidak sesuai dengan fitrah manusia.
Tetapi manusia juga mempunyai sifat bawaan, yaitu pelupa (nisyan). Karena itu manusia juga biasa disebut insan. Setelah bersaksi bahwa Tuhan hanya satu yaitu Allah Swt. dan berjanji akan mematuhi-Nya, karena terlena oleh kehidupan dunia maka manusia menjadi lupa (nasiya) untuk memenuhi kewajiban dan tujuan hakiki hidupnya. Kelupaan atau kelalaian itu menjadi penyebab ketidak-taatannya pada perintah Allah Swt. Sifat ini sangat tercela serta cenderung membuatnya tenggelam dalam ketidakadilan (zhulm) dan kebodohan (jahl). Sekalipun demikian manusia dianugerahi dengan perlengkapan rohani untuk mengingat kembali apa yang diikrarkannya pada hari perjanjian (hari Alastu) dulu. Perlengkapan itu ialah akal pikiran dan kecerdasannya yang berguna untuk membedakan yang salah dari yang benar. Tetapi semua itu terserah pada manusia untuk memilihnya, dengan konsekwensi yang harus ditanggungnya sendiri.
Konsep Manusia Sebagai Khalifah Allah di Muka Bumi
Khalifah adalah makhluk Allah Swt. yang mendapat kepercayaan dari-Nya untuk menjalankan kehendak-Nya dan menerapkan semua ketetapan-Nya di muka bumi. Untuk menjalankan fungsi kekhalifahan itu Allah Swt. mengajarkan ilmu pengetahuan kepada manusia. Dengan ilmu pengetahuan, manusia mempunyai kemampuan untuk mengatur, memanfaatkan, dan menundukkan benda-benda ciptaan Allah di muka bumi ini sesuai dengan maksud diciptakannya.Firman Allah Swt. dalam al-Qur’an (2:30) menyatakan bahwa manusia telah ditunjuk menjadi khalifah-Nya di atas bumi, dan kepada manusia dibebankan amanat, sebuah tanggung jawab yang berat untuk mengatur dan memelihara kehidupan di dunia. Maksud mengatur di sini bukanlah mengatur sesuai dengan kemauannya sendiri atau demi kepentingan egonya sendiri, tetapi harus mengatur sesuai dengan kehendak Allah Swt. dan maksud-Nya (Q 33:72). Amanah tersebut menuntut pertanggung jawaban untuk bersikap dan berbuat adil terhadap alam semesta dan seisinya, sebagaimana juga bersikap adil terhadap sesama manusia. Mengatur di sini tidak hanya mencakup pengertian sosioal dan politik, atau mengendalikan alam dan kehidupan di dalamnya secara ilmiah. Tetapi yang lebih mendasar lagi, dalam konsep itu, tercakup konsep lain yang disebut tabi’ah (tabiat). Konsep ini mengandung arti “pengaturan, pengendalian, pemerintahan, dan pemeliharaan diri manusia oleh dirinya sendiri”.
Dalam rangka mengatur dan mengendalikan hidupnya itu manusia tergantung pada sifat ganda dari tabiatnya yaitu Tabiat atau bawan sifatnya yang tinggi ialah jiwa rasional (al-nafs al-nathiqah) dan yang lebih rendah adalah jiwa hewani (al-nafs al-hayawaniyah). Ketika Allah memaklumkan keesaan-Nya sebagai Tuhan, yang dituju adalah jiwa rasional manusia bukan jiwa hewaninya. Agar manusia memenuhi perjanjiannya dengan Allah dan selalu mmperteguh ikatan dengan perjanjiannya itu, manusia harus melaksanakannya dalam bentuk amal perbuatan dan ketaatan dalam menjalankan ibadah (sesuai syariah-Nya).
Kekuasaan dan pengaturan jiwa rasional atas jiwa hewani secara efektif itulah yang sebenarnya dinamakan din (agama); sedangkan yang dimaksud islam ialah kepatuhan dan ketaatan yang sadar dari jiwa hewani terhadap jiwa rasional. Periaku religius dalam Agama Islam, karena itu, berkaitan dengan kebebasan dan kesadaran jiwa rasional secara penuh untuk merealisasikan perjanjiannya dengan Allah Swt., dan kebebasan itu berarti kekuatan (quwwa) serta kemapuan (wus’) untuk berbuat adil terhadap diri sendiri, sesama manusia, serta terhadap alam di sekitarnya.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.