Monday, March 21, 2016

اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَا تُهُ
Saudara muslimku calon penghuni sorga, kali ini kita akan membahas tentang Dasar dan Prinsip Hukum Ekonomi Islam. Semoga artikel ini bermanfaat, aamiin.

Dasar dan Prinsip Hukum Ekonomi Islam

Dasar hukum ekonomi Islam perlu kita ketahui agar aktifitas perekonomian yang kita lakukan memiliki sumber hukum yang jelas menurut agama Islam.. Sebagai ajaran yang komprehensif, hukum ekonomi Islam dibangun atas dasar kaidah ushul fiqh mu’amalah, qawa’id fiqh dan falsahah Hukum Islam dimana segala sesuatu yang tidak dilarang oleh Quran dan Sunnah adalah halal. Dengan demikian sebagian besar ekonom Muslim memahami ekonomi Islam sebagai suatu teori dan praktek ekonomi yang menghindari segala transaksi yang mengandung dengan riba (bunga), maisir (judi) dan gharar (spekulasi), menghindari dilakukannya peningkatan kesejahteraan seseorang dengan cara yang bathil atau merugikan orang lain, menekankan pada aspek keadilan daripada efisiensi, tidak melaksanakan investasi dan transaksi pada produk-produk yang dilarang, dan berupaya mewujudkan kesejahtaraan sosial yang didukung oleh zakat dan amal sholeh lainnya.

Ekonomi Islam adalah sebuah sistem ilmu pengetahuan yang menyoroti masalah perekonomian, sama seperti konsep ekonomi konvensional lainnya. Hanya, dalam sistem ekonomi ini, nilai-nilai islam menjadi landasan dan dasar dalam setiap aktivitasnya.

Dari pemahaman ekonomi islam ini, menunjukan bahwa sistem ekonomi ini bukan hanya ditunjukan untuk umat islam saja. Sebab, semua umat manusia bisa dan berhak untuk menggunakan konsep yang ada dalam sistem ekonomi berbasis ajaran islam itu.
Dasar Hukum Ekonomi Islam

Jika diurai, ekonomi islam ini berasal dari ajaran yang terdapat dalam Al-Qur'an. Para ahli ekonomi islamlah yang lalu menerjemahkan dan menciptakan aplikasinya untuk kehidupan masyarakat. Beberapa tokoh ekonomi islam di antaranya adalah Abu Yusuf. Abu Yusuf adalah seorang tokoh ekonomi di bidang keuangan umum dengan menghasilkan gagasan entang peranan negara. pekerjaan umum dan perkembangan pertanian yang masih berlaku hingga sekarang.

Tokoh ekonomi islam lainnya adalah Ibnu Taimiya yang memaparkan mengenai konsep harga ekuivalen. Tusi, mengembangkan gagasan mengenai pentingnya nilai pertukaran, pembagian kerja dan kesejahteraan rakyat. Dan yang paling terkenal, Ibnu Khaldun yang ditasbihkan sebagai Bapak Ilmu Pengetahuan Sosial dunia, memberikan definisi mengenai ilmu ekonomi yang lebih luas.

Dasar Hukum Ekonomi Islam


Sebuah ilmu tentu mempunyai landasan hukum agar bisa dinyatakan sebagai sebuah bagian dari konsep pengetahuan, demikian pula dengan ekonomi islam. Ada beberapa dasar hukum yang menjadi landasan pemikiran dan penentuan konsep ekonomi islam.

Beberapa dasar hukum Islam itu diantaranya adalah:
1. Al Qur'an
Ini adalah dasar hukum utama konsep ekonomi islam, sebab Al Qur'an adalah ilmu pengetahuan yang berasal langsung dari Allah Swt. Beberapa ayat dalam Al Qur'an merujuk pada perintah manusia untuk mengembangkan sistem ekonomi yang berasal pada hukum islam. Diantaranya terdapat pada QS. Fuskilat:42, QS. Az Zumar:27, QS. Al Hasy:22

2. Hadist dan Sunnah
Pengertian hadist dan sunnah adalah sebuah perilaku Nabi yang tidak diwajibkan dilakukan manusia, namun apabila mengerjakan apa yang dilakukan Nabi Muhammad maka manusia akan mendapatkan pahala. Keduanya dijadikan dasar hukum ekonomi islam mengingat Nabi Muhammad SAW sendiri adalah seorang pedagang yang sangat layak untuk dijadikan panutan pelaku ekonomi modern.

3. Ijma'
Ijma' yaitu sebuah prinsip hukum baru yang timbul sebagai akibat adanya perkembangan jaman. Ijma' adalah konsensus baik dari masyarakat atau cendikiawan agama, dengan berdasar pada Al Qur'an sebagai sumber hukum utama.

4. Ijtihad atau Qiyas
Ijtihad atau Qiyas adalah sebuah aktivitas dari para ahli agama untuk memecahkan masalah yang muncul di masyarakat, dimana masalah itu tidak itu secara rinci dalam hukum islam. Dengan merujuk beberapa ketentuan yang ada, maka Ijtihad berperan untuk membuat sebuah hukum yang bersifat aplikatif, dengan dasar Al Qur'an dan Hadist sebagai sumber hukum yang bersifat normatif.

Prinsip Hukum Ekonomi Islam


Dalam Hukum Ekonomi Islam, sebagai ketentuan yang ditetapkan syara’, terdapat prinsip-prinsip yang wajib dipenuhi apabila sebuah interaksi antar sesama manusia yang berkaitan dengan harta dan kepemilikan akan dilakukan. Prinsip-prinsip ini mesti dijadikan sebagai ugeran (aturan) dalam melaksanakan aktivitas ekonomi.

Berdasar pada beberapa pendapat para fuqaha saat mendeskripsikan fiqih al-mu’amalah (baca: Hukum Ekonomi Islam), maka setidaknya ditemukan empat prinsip, yaitu:
1. pada asalnya aktivitas ekonomi itu boleh dilakukan sampai ada dalil yang mengharamkannya,
2. aktivitas ekonomi itu hendaknya dilakukan dengan suka sama suka (’an taradlin),
3. kegiatan ekonomi yang dilakukan hendaknya mendatangkan maslahat dan menolak madharat (jalb  al-mashalih wa dar’u al-mafasid), dan
4. dalam aktivitas ekonomi itu terlepas dari unsur gharar, kedzaliman, dan unsur lain yang diharapkan berdasar syara’.

Dalam prinsip pertama mengandung arti, hukum dari semua aktivitas ekonomi pada awalnya diperbolehkan. Kebolehan itu berlangsung selama tidak atau belum ditemukan nash – Al-Qur’an dan Al-Hadits – yang menyatakan keharamannya. Ketika ditemukan sebuah nash yang menyatakan haram, maka pada saat itu pula akad mu’amalah itu menjadi terlarang berdasar syara’. Prinsip Hukum Ekonomi Islam ini sebenarnya mengacu pada ketentuan-ketentuan umum yang termuat di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Al-Qur’an secara substansi berbicara mengenai masalah ini terdapat di dalam surat Al-Baqarah ayat 29, “Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.” Sedangkan Al-Hadits yang berkaitan dengan prinsip ini adalah hadits yang diterima Salman Al-Farisi yang diriwayatkan Turmudzi dan Ibn Majah, Rasulullah Saw bersabda, “Apa yang dihalalkan Allah adalah halal dan apa yang diharamkan Allah adalah haram dan apa yang didiamkan adalah dimaafkan. Maka terimalah dari Allah pemaafan-Nya. Sungguh Allah itu tidak melupakan sesuatu pun.” (HR. Al-Bazar dan Al-Thabrani)

Prinsip Hukum Ekonomi Islam yang kedua adalah mu’amalah, hendaknya dilakukan dengan cara suka sama suka dan tidak ada unsur paksaan dari pihak manapun. Bila ada dalam sebuah aktivitas ekonomi ditemukan unsur paksaan (ikrah), maka aktivitas ekonomi itu menjadi batal berdasar syara’. Prinsip mu’amalah ini didasarkan pada nash yang tertuang dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 29, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” Prinsip inipun didasarkan pada hadits Nabi Saw yang menyatakan, “Bahwasannya jual-beli hendaknya dilakukan dengan suka sama suka.”

Sedangkan prinsip yang ketiga adalah mendatangkan maslahat dan menolak madharat untuk kehidupan manusia. Prinsip ini mengandung arti, aktivitas ekonomi yang dilakukan itu hendaknya memperhatikan aspek kemaslahatan dan kemadharatan. Dengan kata lain, aktivitas ekonomi yang dilakukan itu hendaknya merealisasi tujuan-tujuan syari’at Islam (maqashid al-syari’ah), yakni mewujudkan kemaslahatan untuk manusia. Bila ternyata aktivitas ekonomi itu dapat mendatangkan maslahat untuk kehidupan manusia, maka pada saat itu hukumnya boleh dilanjutkan dan, bahkan, wajib dilaksanakan. Namun bila sebaliknya, mendatangkan madharat, maka pada saat itu pula wajib dihentikan.

Prinsip ketiga itu biasanya didasarkan pada firman Allah dalam surat Al-Anbiya ayat 107, “Dan tidaklah Kami mengutus kalian melainkan untuk (menjadi) rahmat untuk seluruh alam.” Rahmat dalam ayat ini bisa diartikan dengan menarik manfaat dan menolak madharat (jalb al-manfa’ah wa daf al-madharah). Makna ini secara substansial seiring dengan yang ditunjukkan Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 185, yang menyatakan, Allah tidak menghendaki adanya kesempitan dan kesulitan (musyaqah) dan surat An-Nisa’ ayat 28, “Allah menghendaki supaya meringankan bagimu, sebab manusia itu diciptakan dalam keadaan lemah.”

Sedangkan prinsip terakhir, aktivitas ekonomi wajib terhindar dari unsur gharar, dzhulm, riba’ dan unsur lain yang diharamkan berdasar syara’. Syariat Islam membolehkan setiap aktivitas ekonomi di antara sesama manusia yang dilakukan atas dasar menegakkan kebenaran (haq), keadilan, menegakkan kemaslahatan manusia pada ketentuan yang dibolehkan Allah Swt. Sehubungan dengan itu, Syariat Islam mengharamkan setiap aktivitas ekonomi yang bercampur dengan kedzaliman, penipuan, muslihat, ketidakjelasan, dan hal-hal lain yang diharamkan dan dilarang Allah Swt.

Gharar maknanya tipuan, yang diduga dapat meniadakan kerelaan dan juga adalah bagian dari memakan harta manusia dengan cara yang bathil. Jual-beli gharar adalah jual-beli yang mengandung unsur ketidaktahuan (jahalah) yang dapat membawa pada perselisihan, serta menyebabkan kemadharatan dan meniadakan kemaslahatan manusia.

Sedangkan aktivitas ekonomi yang mengandung unsur zhulm (kedzaliman) adalah aktivitas ekonomi yang bila dilakukan dapat merugikan pihak lain, seperti menumpuk-numpuk harta (ihtikar) yang dapat mengganggu mekanisme pasar, jual-beli yang mengandung unsur spekulasi seperti jual-beli munabadzah (jual-beli dengan cara saling melempar).

Adapun riba’ adalah satu tambahan atas pokok harta dalam urusan pinjam-meminjam. Terdapat beberapa sebab, mengapa riba’ diharamkan. Pertama, sebab Allah dalam Al-Qur’an dan Rasulullah Saw dalam Al-Hadits jelas-jelas menyatakan, riba’ diharamkan. Kedua, sebab esensi riba’ adalah perilaku orang untuk mengambil harta milik orang lain dengan tidak seimbang. Ketiga, bisa menyebabkan orang malas untuk berusaha, sebab selalu mengharapkan keuntungan dengan tanpa usaha yang riil. Keempat, sebab dengan adanya riba’ bisa menyebabkan hilangnya berbuat baik pada sesama manusia.

Dari uraian itu dapat dipahami, aktivitas ekonomi baru dianggap shahih apabila memenuhi prinsip-prinsip Hukum Ekonomi Islam itu. Bila kativitas ekonomi itu tidak memenuhi salah satu atau beberapa prinsip Hukum Ekonomi Islam, maka akan tergolong pada aktivitas ekonomi yang ghayr al-shahih, baik bathil atau fasad. Pemenuhan prinsip-prinsip itu dalam rangka menciptakan aktivitas ekonomi yang dapat menegakkan kebenaran, keadilan, kemurahan, dan kerelaan. Sehubungan dengan hal ini, maka dapat disimpulkan, prinsip Hukum Ekonomi Islam ini pada hakikatnya adalah menegakkan kebenaran (shidq), keadilan (‘adalah), kemurahan (samahah), dan kerelaan (taradhi), Wallaahu a’lam.

Sumber:
http://www.anneahira.com/ekonomi-islam.htm
http://www.pkesinteraktif.com/edukasi/opini/1578-prinsip-hukum-ekonomi-islam.html
http://linafatinahberbagiilmu.blogspot.co.id/



No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.